Untuk Pemilu 2009, Kamis (09/4) besok, tim ID-SIRTII (Indonesia Security Incident Response Team of Internet Infrastructure), bersama tim teknis KPU (Komisi Pemilihan Umum), dan Komunitas Keamanan Informasi telah mempersiapkan dan menguji kehandalan jaringan sistem teknologi informasi Pemilu, yang akan dipasang di 504 titik, meliputi 471 kabupaten dan 33 provinsi. Sementara untuk tabulasi elektronik Pemilu 2009 rencannya akan menggunakan system ICR (Intelligent/Handwriting Character Recognition), sebuah mesin pemindai formulir C1 IT, yakni hasil rekap perolehan suara di TPS yang dibuat khusus dan ditulis tangan, yang kemudian dikirim ke kelurahan dan diteruskan ke KPUD Kabupaten/Kota untuk discan. Lalu hasil scan yang berbentuk image tersebut akan di-convert ke dalam bentuk angka dan huruf menggunakan ICR. Hasilnya kemudian dikirim ke KPU pusat untuk diproses dan ditayangkan di website khusus sebagai hasil perolehan suara per TPS.
Namun, sayangnya menurut praktisi TI dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Ir Dedy Syafwan M.T., mesin pemindai jenis ICR untuk menginput data Pemilu legislatif yang menelan dana sekitar Rp 30 miliar tersebut ternyata masih sarat dengan masalah. Selain masalah sistem integrasi, ternyata kecerdasan buatan mesin pemindai ICR juga belum bisa mengatasi sepenuhnya masalah keanekaragaman bentuk tulisan tangan yang dibubuhkan pada formulir C1-IT. ICR kesulitan membedakan bentuk antara angka satu dengan tujuh yang ditulis oleh banyak petugas, seperti contoh angka 7 di gambar bisa teridentifikasi sebagai angka 1, angka 6 bisa jadi 0, dan sebagainya. Demikian juga huruf dari a hingga z, bisa berubah dari aslinya karena form C1 TI ditulis tangan. Jika mesin pemindai mengalami keraguan dalam menghitung, maka diberlakukan prosedur verifikasi dan validasi untuk mengecek kebenaran hasil analisanya. Untuk itu, penggunaan ICR dinyatakan gagal di tahun tersebut, sehingga beralih kembali ke cara manual.
Sementara cara manual lama, seperti Quick Count, mungkin masih dipakai untuk menggantikan kelemahan dari ICR. Dengan Quick Count, hasil perhitungan suara bisa diketahui dua sampai tiga jam setelah perhitungan suara di TPS ditutup. Kecepatan ini bisa didapat karena dalam Quick Count tidak menghitung suara dari semua TPS, namun cukup dengan sampel TPS saja. Quick Count dilakukan berdasarkan pada pengamatan langsung di TPS yang telah dipilih secara acak. Penentuan besaran sampel berdasarkan pada derajat keragaman (variability), margin of error (MoE), dan tingkat kepercayaan (confindence interval).
Istilah MoE sering disamakan dengan pengertian sampling error (SE), dimana sebenarnya SE dihitung setelah survei selesai dilakukan sesuai dengan Teknik Sampling yang digunakan. Formula umum menentukan margin of error : MoE2 = z2 (p (1-p))/n z = nilai tingkat kepercayaan (tabel Normal) p = proporsi sampel n = jumlah sampel MoE = margin of error.
Berdasarkan formula ini, dan dengan pengali Finite Population Correction (FPC, bila populasi TPS diketahui), serta menggunakan berbagai variasi nilai p maka dapat dibuat Tabel Solvin. Tabel ini memuat kombinasi isian mengenai asosiasi hubungan jumlah sampel, jumlah populasi, dan margin of error.
Quick Count biasanya diiringi dengan kegiatan lain yaitu pemantauan yang juga menggunakan metode penarikan sampel secara acak, untuk mendeteksi dan mengungkapkan kecurangan dalam pemilihan. Organisasi yang melakukan Quick Count mengumpulkan data dari tiap TPS, dan berusaha melakukan penghitungan cepat dari daerah pantauan yang dipilih secara acak. Quick Count dapat memperkirakan perolehan suara Pemilu secara cepat sehingga dapat memverifikasi hasil resmi KPU.(./h_n)
sumber : http://www.beritanet.com/Life-Style/Consumer/Pemilu-2009-ICR-Quick-Count.html
|