Rabu, 18 Februari 2009

Ada Miniatur Herbarium Dunia di Negeri Singa

Ada Miniatur Herbarium Dunia di Negeri Singa
Oleh trubusid_admindb

Geogre Ebenard Rumphius terlihat tepekur di balik meja kerjanya. Hutan tropis penuh nepenthes jadi latar belakangnya. Kabut dan kolam air menyejukkan kediaman penulis buku Herbarium Amboinense itu.

Itu bukan suasana tempat tinggal Rumphius di Ambon sebelum ia meninggal pada 1702. Itu pemandangan yang ditangkap kamera Trubus di Singapura. Ahli botani asal Jerman itu hadir di tengah-tengah pengunjung Singapore Garden Festival (SGF) 2008.

Begitu didekati, wujud itu tak lain patung replika Rumphius. Patung itu dihadirkan oleh Diana Williams dan Robert Cantley dalam desain taman bertema Season of Mist atau Musim Kabut. Nepenthes jadi ornamen utama untuk mengenang Rumphius yang pertama kali mendokumentasikan genus nepenthes dalam ilmu botani.
Taman kubah

Pemilik nurseri Borneo Exotic di Sri Lanka itu ingin memperkenalkan nepenthes sebagai tanaman hias yang tak kalah cantik dibanding tanaman bunga. Rob dan Diana menampilkan taman berupa rumah kubah melingkar dengan satu pintu dan 3 jendela besar di tiga sisinya. Dari setiap jendela pengunjung dapat menatap keindahan N. truncata, N. lowii, N. ventricosa, N. spectabilis, dan N. rajah tumbuh merambati pepohonan atau menjalar di lantai hutan.

Air kolam yang memantulkan cahaya biru dan kabut yang berembus di permukaannya membuat 5 kantong semar yang menggantung di atas kolam tampil mempesona. Meski tak berbunga, warna, dan bentuk menawan, serta penempatan tepat membuat nepenthes pantas sebagai point of interest dalam taman.

'Nepenthes paling cocok untuk taman dengan tema hutan tropis. Untuk pemula yang ingin menyertakan nepenthes dalam taman lebih baik memilih hasil silangan. Biasanya lebih bandel dan adaptif,' kata Diana. Diana meyakinkan bahwa di dataran rendah dengan suhu tinggi pun, nepenthes silangan rajin berkantong. Dengan kepiawaiannya, peraih emas di Chealsea Flower Show 2006 dan 2007 itu memadukan entuyut dengan palem, paku-pakuan, dan sikas untuk membangun miniatur hutan tropis.
Bunga nasional Afsel

Bersebelahan dengan hutan nepenthes, ratusan bunga keluarga Proteaceae mekar mengelilingi rumah adat suku Zulu, Afrika Selatan. Karya perancang David Davidson dari Afrika Selatan itu menampilkan Afrika dalam tema Imbizo Yase Afrika atau Kebersamaan Afrika. Sekitar 30 spesies keluarga Proteaceae tampil sebagai ikon negara yang sebagian besar wilayahnya beriklim subtropis itu. Di antaranya, king of protea Protea cynaroides, queen of protea Protea magnifica, Leucospermum sp, Leucadendron sp dan Erica sp.

King of protea bermahkota bunga terbesar dibanding spesies lain dalam genus Protea. Diameternya mencapai 25,5 - 30,4 cm. Warna kelopak bunga nasional Afrika Selatan itu bervariasi mulai dari merah muda sampai merah tua. Bagian tengahnya mirip rajutan wol berwarna putih atau merah muda.

Queen of protea tampilannya mirip, hanya warna kelopaknya merah muda gelap dengan ujung kelopak dihiasi rambut-rambut hitam. Bagian dalamnya kadang berwarna hitam. Protea yang masih kuncup pun jadi aksen menarik di tengah-tengah semak-semak Erica sp. Bentuknya memanjang mirip tunas bambu dengan warna merah muda dan putih. Sedang Leucospermum sp. tampil eksotis dengan puluhan putik berwarna jingga membentuk rambut-rambut. Ada juga bunga mirip kemoceng berwarna kuning sebagai pelengkap.

Di salah satu sisi taman, Sansevieria trifasciata 'laurentii' berjajar sebagai pembatas. Aloe dachotoma penghuni gurun setinggi hampir 2 m pun gagah terpajang. 'Aloe dachotoma merefleksikan pemanasan global. Tanaman itulah yang bertahan jika suhu terlalu panas,' kata David.
Herbarium

Selain taman Afrika, Trubus bersama Dr Chin See Chung - direktur Singapore Botanic Garden - pun menyambangi taman Australia karya Jim Fogarti. Jim membawa suasana pesisir Australia dengan pohon Banksia integrifolia yang permukaan bawah daunnya keperakan. Rumput Lomandra longifolia menutup lantai taman bertema Jervis Bay atau Teluk Jervis itu.

Langkah Chin terhenti di depan taman karya perancang Ben Hoyle dari Selandia Baru. Rupanya silver spears Astelia chathamica dan Pseudopanax ferox menarik perhatiannya. Silver spears, keluarga lily, biasa dipakai sebagai penghasil serat untuk kain. Di taman itu ia jadi ornamen utama. Bentuk daunnya mirip pandan dengan warna daun keperakan.

Pseudopanax ferox unik dengan tampilan mirip ranting kering. 'Meski mirip ranting kering, tanaman ini sebenarnya hidup,' tutur Chin. Di alam, pohon endemik Selandia Baru itu tingginya bisa 6 meter setelah berumur 10 tahun. Daunnya keras memanjang dan bergerigi, warnanya hijau tua kecokelatan. Ibarat miniatur herbarium dunia, beragam tanaman dari berbagai penjuru dunia ada di lantai 6 Suntec International Convention & Exhibition Centre, Singapura. (Nesia Artdiyasa)
sumber: trubus-online.co.id